Madilog Memandang Muhammad SAW

Opini- “Ketika menghadap Tuhan, saya muslim. Tetapi, manakala berhadapan dengan manusia saya bukan muslim, karena Tuhan sendiri bilang ada banyak setan diantara manusia. Jadi, kami mengalahkan pimpinan mereka dengan Al-qur’an di tangan.” Tan Malaka bilang. (Tempo: 2008, 60).

Tan Malaka? Apakah dia Muslim? Ia sudah menegaskan bahwa ia muslim. Beberapa orang yang \nmengenalnya, gerak jalan pikiran revolusionernya mengaburkan agama dalam dirinya. Ia seorang komunis. Membaca komunis, membuat kita melayang kepada peristiwa berdarah 1965. Tenanglah, tulisan ini hanya bercerita sedikit pribadi Tan Malaka dan ruang kecil dalam dadanya sebagai manusia dengan segenggam iman. Jadi, tidak ada singungan peristiwa 1965.

Bagaimana Tan Malaka memandang Baginda Rasulullah SAW? Ini adalah salah satu pertanyaan menarik. Ada beberapa alasan mengapa pertanyaan ini bisa menjadi bahan pertimbangan. pertama, sepak terjang Tan Malaka berangkat dari pemikiran komunis. Kedua, posisinya dalam berjuang meraih kemerdekaan berdiri di zona merah yang mana blok yang ia bangun telah menorehkan sejarah berdarah di hari lalu. Ketiga, adanya tali penghubung antara sudut pandang meterialistik dengan mistika.

Tan Malaka telah menciptakan satu proyek yang sampai sekarang masih diselami oleh beberapa orang, yang disebut “Madilog”. Landasan berpikir proyek ini bermula dari kesadarannya melihat fenomena rakyat Indonesia dahulu yang dijajah oleh kaum Belanda. Apa salahnya? Ini bukan soal nama sebuah bangsa, melainkan sebuah pola pikir. Indonesia kala itu dibagi menjadi dua kutub yang saling berlainan; Kapitalis dan proletar. Madilog ingin menyadarkan kepada masyarakat proletar (pribumi tertindas) untuk mulai sadar bahwa perlu adanya kesadaran kepada hal-hal yang riil.

Realitas yang disinggung adalah pola pikir yang memulai tesis terhadap alam sekitar. Dalam garis besar Madilog, Tan Malaka ingin adanya pergeseran kebenaran yang diambil dari kenyataan. Betapa masyarakat tertindas terdahulu dijajah secara materi lewat kerja paksa dengan upah minim, sosial dengan adanya tingkat strata sosial yang menciutkan harga diri sebagai manusia, dogmasi yang diarahkan kepada bayang-bayang surgawi dan neraka. Logika yang dimainkan adalah dengan melihat keadaan sekitar untuk kemudian dilakukan suatu tindakan sebagai kesimpulan berpikir.

Contoh kecil saja dari percikan pemikirannya, jika seorang anak kuli petani tidak mendapatkan pendidikan, maka selamanya mereka akan buta huruf. Tubuh mereka akan diperas keringatnya. Harga diri mereka akan runtuh hanya karena tidak hidup dari kalangan priyayi. Mereka tidak memiliki hak untuk mendapatkan kebenaran. Langkah mereka disuruh kesana-kemari oleh orang yang beruang.

ketika seorang didalam keadaan yang serba sulit, hal yang bisa mereka pegang adalah kebenaran mistika. Seperti misalnya, bahwa hidup ini tidak lebih dari ujian untuk kebahagiaan di akhirat. Pribadi akan mengakui bahwa hidupnya memang ditakdirkan untuk sengsara. Itulah kenapa Tan Malaka ingin menggeser pikiran dengan segala yang ada di dunia ini memiliki aturannya. Aturan di luar kendali manusia memang tidak disinggung, tetapi aturan manusialah yang bisa dicari kebenarannya. Semisal dengan pertimbangan ini dilakukan, maka bisa tumbuh satu kesadaran bahwa kerja keras mereka seharusnya bisa lebih dihargai. (seperti kutipan: pekerjaan tangan sama mulia dengan kerja otak). Sikap pesimis akan bergeser dengan begitunya.

Lalu, bagaimana sebuah materilistis logika memandang wujud Nabi Muhammad SAW yang diselimuti dengan kabar mistika seperti mukjizat, nur Muhammad, dan keghaiban lainnya? Hal-hal yang sifatnya Hablum-minallah kita sisihkan terlebih dahulu. Tan Malaka beranggapan bahwa Muhammad tidak serta merta diselimuti kemistisan. Ada banyak sekali pikiran ilmiah yang bisa dijadikan pertimbangan.

Zaman pra-Muhammad orang Arab hidup dalam kepercayaan pada berhala. Setiap daerah memiliki kondisi beragam berhala yang mengakibatkan adanya perbandingan antara berhala satu dan berhala lainnya. Dalam kaitannya ini, Berhala yang berdiri tegak di Mekkah menjadi satu yang bisa dijadikan suatu masterpiece kaum pra-Muhammad. Ini menunjukkan adanya suatu ketidakadilan yang mana setiap daerah, dengan kondisi beragam, memandang berhala mereka. Muhammad yang datang sebagai seorang pemimpin umat, memberikan satu deklamasi penting bahwa di mata Tuhan manusia tidak dibedakan kecuali ketaqwaan. Ada kaitan yang menarik bahwa apa yang diajarkan Muhammad dalam mendekati kebutuhan psikologi menempatkan manusia dalam kondisi yang sama. Manusia memiliki dasar kebutuhan psikologi yang sama tanpa terlilit harta dan hal-hal materiil lain yang berpotensi membeda-bedakan.

Apakah Muhammad serta merta mendapatkan pengetahuan politik perang? Perlu dilihat sejarah perjalanannya mulai dari berdagang dengan pamannya. Ia mulai bertemu dengan kafilah-kafilah lain yang memberikannya satu pemandangan tentang gerak suatu golongan. Ini merupakan proses wajar dari sebuah cara belajar manusia (observing). Muhammad terus mencari kebenarannya dari lingkungan sekitarnya (sekali lagi sisihkan terlebih dahulu materi mistis).

Apakah dengan takdir ma’sumnya (dijauhkan dari dosa), Muhammad lantas diam saja dan seolah membanggakan diri? Muhammad jua melakukan aktifitas layaknya manusia yang hidup di bumi. Ia menggembala hewan, ia berjualan, ia juga ikut dalam perkumpulan permusyawaratan (apakah ini termasuk hal-hal immaterial? Tidak sama sekali).

Dengan segala benturan kondisi masyarakatnya dan rasa ingin tahunya, Muhammad mencoba mencari naungan dari semua hal yang material. Ia juga berkhalwat, menyendiri, merenung, merumuskan konsep revolusioner. Ia kembalikan kebutuhan badaniyahnya kepada pengatur aturan materiil (Hablumminallah). Jadi, bisa dilihat bahwa apa yang menjadi sepak terjang Muhammad Saw, baik fi’liah dan qouliyah, ditaruhkan pada porsi yang seimbang. Muhammad tidak serta merta pemimpin dengan jubah keghaiban. Ia telah melalui pergerakannya dengan logika dan materialistis yang paripurna. Michael Hartz mengatakan bahwa Muhammad adalah satu figur pemimpin nomer satu di dunia dengan konsep keesaan Tuhan (Tauhid).

Begitulah sebuah materialistis logika memandang stigma mistika. Bagi pembaca, semoga dengan ini ada sedikit rangsangan bahwa semua hal-hal memang harus dipandang sesuai porsinya. Aturan dunia ini adalah milik material, tapi aturan materiil telah diatur oleh aturan mistika (Tuhan). Semoga dengan ini kita menjadi pribadi yang menjadi lebih kritis dalam menghadapi realita di sekitar kita. tentunya, urusan dogma agama, penulis kembalikan kepada pribadi pembaca. Tanpa mengurangi rasa hormat, penulis mengucapkan syukur Alhamdulillah telah diberi kesempatan untuk menuliskan sedikit pikiran sederhana ini.

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai